CATATAN INDONESIA CORRUPTION WATCH TERHADAP REVISI UU
(PELEMAHAN) KPK 2016
ISU KRUSIAL DALAM REVISI UU KPK 2016
Seperti halnya naskah per Oktober 2015, Naskah Revisi
UU KPK per Februari 2016 juga memiliki sejumlah catatan yang dapat melemahkan
KPK. Naskah Revisi UU KPK juga menjadi liar karena membahas substansi diluar
empat isu krusial yang ditawarkan oleh pemerintah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa perumusan
revisi UU KPK yang dibatasi hanya pada empat isu penguatan KPK sebagaimana
janji pemerintah tak bisa dipercayai mengingat draft yang beredar tidak
merefleksikan semangat politik untuk menguatkan KPK. ICW mencatat ada 10 (sepuluh) persoalan dalam Naskah Revisi UU KPK
per Februari 2016.
1. Pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih dan
diangkat oleh Presiden
Hal yang baru dalam Revisi UU KPK per Februari 2016 adalah keberadaan Dewan
Pengawas KPK. Pada Naskah sebelumnya “organ baru” yang ada adalah Dewan
Kehormatan dan Dewan Eksekutif.
Ketentuan mengenai Dewan Pengawas diatur dalam 6 (enam) pasal,
yakni Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, dan Pasal 37F.
Berdasarkan Pasal 37B Ayat 1 huruf c, Dewan Pengawas
bertugas:melakukan evaluasi kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Selain itu berdasarkan
naskah Revisi UU KPK 2016, Dewan Pengawas juga memiliki otoritas penting dalam
proses pemberian izin penyadapan dan penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.
Persoalan terbesar dalam ketentuan Dewan Pengawas adalah terkait mekanisme
pengangkatan dan pemilihan anggota dewan pengawas. Dalam draft RUU KPK Pasal 37
D Ayat 1 disebutkan bahwa Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden.
Namun tidak menjelaskan secara rinci mekanisme pemilihan anggota badan
pengawas. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kewenangan memilih anggota
dewan pengawas adalah murni menjadi hak prerogatif presiden. Presiden dapat
menunjuk siapa saja untuk menjadi anggota dewan pengawas KPK.
Dengan metode yang demikian maka dewan pengawas bertanggungjawab langsung
kepada Presiden sebagai pemberi mandat. Jika dikaitkan dengan fungsi dan peran dewan
pengawas maka akan menimbulkan persoalan lain yang lebih serius. Dengan
kedudukan dewan pengawas yang diangkat dan dipilih presiden, maka menempatkan fungsi evaluasi kinerja Pimpinan KPK dalam posisi yang tidak tepat. Dengan kedudukan dewan pengawas yang demikian maka
tindakan mengevaluasi kinerja pimpinan adalah bentuk campur tangan eksekutif
terhadap KPK. Dikhawatirkan, besarnya
campur tangan Presiden untuk menentukan orang yang akan duduk di Dewan Pengawas
KPK akan memudahkan intervensi politik Istana pada KPK.Padahal pada KPK melekat sifat mandiri dan independen. Fungsitersebut
seolah merekonstruksi ulang posisi Dewan Pengawas yang berada setingkat diatas
pimpinan KPK.
2. Mekanisme Penyadapan yang harus izin Dewan Pengawas
Ketentuan mekanisme
penyadapan mengalami perubahan.Jika pada naskah Revisi UU KPK tahun 2015
sebelumnya harus dengan izin Ketua Pengadilan, namun dalam naskah Revisi UU KPK
tahun 2016 mekanisme penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas. Dalam Pasal 12A pada intinya disebutkan Penyadapan
dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup; danatas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Draft RUU KPK memberikan kewenangan bagi dewan pengawas untuk memberikan
persetujuan atas upaya penyadapan yang akan dilakukan KPK. Jika dilihat dari
kacamata kedudukan dewan pengawas, kewenangan ini merupakan bentuk intervensi
eksekutif dalam tindakan atau upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Selain itu draft RUU tidak mengatur mekanisme atau prosedural tentang pemberian
persetujuan dewan pengawas,bagaimana jika yang akan disadap adalah anggota dewan
pengawas atau jika izin penyadapan tidak diberikan.
3. Penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap Penyidikan
Pada sisi lain Ketentuan dalam Pasal 12 A yang menyebutkan proses
penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup juga
dimaknai bahwa proses penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan,
bukan pada tahap penyelidikan sebagaimana yang dilakukan oleh KPK selama ini.
Kondisi ini menjadikan langkah penindakan KPK menjadi terhambat dan menyulitkan
KPK melakukan reaksi cepat atas informasi praktek penyuapan maupun melakukan
operasi tangkap tangan (OTT).
Sebelumnya berdasarkan Pasal 12
UU KPK, pada intinya menyebutkan upaya penyadapan dan merekam pembicaraan
dapat dilakukan dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan tidak
mensyaratkan pada adanya bukti permulaan yang cukup.
Usulan
ini menjelaskan rencana DPR untuk mempersempit ruang gerak KPK dalam melakukan
fungsi penindakan, terutama pada strategi operasi tangkap tangan yang menjadi
ciri khusus KPK. Dengan pembatasan penyadapan pada tahap penyidikan, dapat
dipastikan KPK tidak lagi bisa melakukan OTT, yang sebagian besarnya menyasar
anggota DPR. Dengan rancangan baru ini, penindakan KPK akan kembali ke model
investigasi konvensional.
4. Muncul dualisme Kepemimpinan di KPK
Secara tidak langsung naskah Revisi UU KPK menimbulkan dualisme
kepemimpinan khususnya berkaitan dengan langkah penyadapan yang dilakukan oleh
KPK. Pertanggungjawaban terhadap proses penyadapan yang dilakukan oleh penyidik
tidak saja wajib disampaikan kepada pimpinan KPK namun juga Dewan Pengawas.
Pasal 12 D Ayat 2 menyebutkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
a yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.
Campur
tangan Dewan Pengawas atas fungsi penindakan di KPK yang terlalu jauh akan
memunculkan konflik otoritas, sekaligus pengebirian hak dan wewenang Pimpinan
KPK. Bukan hanya karena Dewan Pengawas memiliki fungsi yang mutlak untuk
membatasi ruang gerak penindakan KPK yang semestinya masuk dalam wilayah
rahasia yang dijamin UU. Akan tetapi juga ada hak veto yang melekat pada Dewan
Pengawas untuk menyetujui atau tidak penyadapan yang dilakukan oleh KPK
sehingga akan menimbulkan hambatan yang serius bagi KPK dalam melakukan
kerja-kerja penindakan.
5. KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri
Revisi UU KPK terbaru juga menyebabkan KPK kehilangan kemandiriannya
dalam melakukan rekrutmen penyelidik dan penyidik.
Dalam Pasal 43 Ayat 1 disebutkan Penyelidik Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sedangkan Pasal 45 Ayat 1 disebutkan Penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Draft RUU KPK menghilangkan perdebatan apakah KPK memiliki kewenangan
merekrut penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK hanya boleh merekrut tenaga penyelidik dari Kepolisian. Sedangkan pada
tingkat penyidik KPK dibatasi hanya boleh melakukan rekritmen dari Kepolisian,
Kejaksaan dan Penyidik PNS. Sehingga tidak
dimungkinkan bagi KPK untuk merekrut secara mandiri penyelidik dan penyidik
diluar ketiga unsur tersebut.
Konsep ini menjadikan KPK hanya sebagai
perpanjangan tangan institusi konvensional, yakni Kepolisian, yang selama ini
justru tidak berdaya melawan korupsi. Dengan rumusan ini, DPR sedang memberikan
akses yang besar bagi Kepolisian untuk ‘menguasai’ KPK, sehingga kedepan KPK
akan banyak menemui hambatan dalam melakukan kerja-kerja penindakan di sektor
penegakan hukum.
6.
Hanya Penyidik KPK asal Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses
penyidikan
Salah satu ketentuan dalam UU
KPK yang dihapus oleh DPRadalah Pasal 38 Ayat 2 yang berbunyi “Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini”.
Dalam Pasal Pasal
7 ayat 2 KUHAP pada intinya menyebutkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik.
Penghapusan
Pasal Pasal 38 Ayat 2 memberikan konsekuensi hanya penyidik KPK yang berasal
dari Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan. Pegawai
KPK yang bukan dari Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat melakukan proses penyidikan.
Proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik non KPK dianggap tidak sah atau
dapat dipersoalkan.
7.
Prosedur Pemeriksaan Tersangka harus mengacu pada KUHAP
Salah satu
perubahan yang muncul dalam Revisi UU KPK adalah Prosedur Pemeriksaan Tersangka
harus mengacu pada KUHAP. Artinya prosedur pemeriksaan KPK tidak dapat
menyimpang dari KUHAP maupun membuat hukum acara tersendiri.
Hal ini jelas disebutkan dalam Pasal 46Ayat 1 RUU KPK yang menyebutkan “Dalam
hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku
dalam rangka pemeriksaan tersangka harus berdasarkan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.”
Ketentuan
diatas menghapuskan Pasal 46 Ayat 1 UU
KPK yang menyebutkan Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut
prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lain,tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang
ini.
Pada
Penjelasan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK disebutkan yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi
tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Selama ini KPK
memiliki prosedur khusus pemeriksaan tersangka– misalnya saja tidak memerlukan
izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat tertentu seperti kepala
daerah, menteri, maupun pejabat lain. Dengan keharusan bahwa prosedur khusus
pemeriksaan tersangka harus mengacu kepada KUHAP maka dapat akan menjadikan
proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut karena harus mendapatkan izin dari
pejabat berwenang.
8. KPK dapat
menghentikan penyidikan dan Penuntutan perkara korupsi
Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya
mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga
penuntutan (Pasal 40 UU KPK). Hal ini adalah salah satu parameter yang
menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan
sangat matang ditingkat penyelidikan dan sudah dibuktikan pula melalui
pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 %
conviction rate).
Namum kisah sukses KPK berupaya diubah oleh DPR dengan melakukan Revisi
Pasal 40 yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan
membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda dengan
Kepolisian dan Kejaksaan, yang mana hal ini sangat jauh dari semangat awal pembentukannya.
9. Proses
Penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas
Salah satu upaya menghambat atau memperlambat proses penindakan KPK, dalam
Naskah Revisi UU KPK khususnya Pasal 47 diatur
ketentuan bahwa penyitaan baru dapat dilakukan oleh KPK setelah adanya bukti
permulaan yang cukup dan dengan izin dari Dewan Pengawas. Padahal sebelumnya
(dalam Pasal 47 UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat
dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.
Keharusan adanya izin penyitaan dari Dewan Pengawas yang bersifat mutlak
akan menjadi persoalan apabila Dewan Pengawas menolak memberikan izin penyitaan
dengan alasan yang sangat subjektif. Dewan Pengawas dapat saja menolak
memberikan izin penyitaan terhadap pelaku yang dikenal dekat dengan lingkungan
eksekutif atau Presiden.
10. Tidak ada ketentuan Peralihan
Naskah Revisi UU KPK 2016 tidak mengatur ketentuan tentang masa peralihan.
Pasal II Revisi UU KPK 2016 hanya menyebutkan bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Tiada ketentuan mengenai masa peralihan (seperti yang
diatur Pasal 70 dan Pasal 71 UU KPK) akan memberikan konsekuensi apabila Revisi
UU KPK ini disahkan maka sebelum Dewan Pengawas terbentuk maka KPK tidak dapat
melakukan proses penyadapan dan penyitaan dalam perkara korupsi.
Bentuk Ketidakpedulian kita terhadap dilemahkan Kekuatan KPK sama hal nya kita mendukung TINDAK LAKU KORUPSI..!!!
Kelilipan kang! Ga bisa baca banyak nih hahaa
ReplyDeleteHahahahaa,, Biar Nguras Otak buat yang baca... :p
Deletekami sekeluarga ingin mengucapkan
ReplyDeletepuji syukur kepada aki wirang
atas nomor togel.nya yang aki
berikan 4 angkah (MINGGU 07/08/2016 SGP yaitu 4199) alhamdulillah
ternyata itu benar2 tembus
dan alhamdulillah sekarang saya
bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada di bank sebanyak 80 juta dan bukan hanya
itu aki. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari ini semua berkat bantuan aki wirang
sekali lagi makasih banyak ya aki bagi anda yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi aki wirang di nomor : 082-346-667-564,demi allah demi tuhan sekarang giliran saudara yg di luarsana..
terimah kasi jg yg punyah room.!!!